Rabu, 22 Juni 2011

" TERBUANG "

Aku terjebak, kawan. Di dunia ini.
Di sini dunia yang tak mengenal aturan. Di sini dunia tanpa tatanan. Di sini tatanannya hanyalah ketidakpastian dan praduga.
Di sini.
Di mana bernyanyi menyakitkan telinga, namun diam menyakitkan mata.
Di mana yang peduli dianggap sok ikut campur, dan yang tak suka ikut campur dianggap tak peduli.
Di mana kemalasan dianggap sebagai kekurangan, namun kerajinan menjadi aib.
Di mana kebanggaan dicap sebagai kesombongan, namun rendah hati sama dengan rendah diri.
Di mana yang berani berbicara dicap tak berpikir panjang, namun kehati-hatian dianggap sebagai tanda apatisme.
Di mana upaya memancing tawa bisa berarti sok gaul, sementara yang tak berkomentar dianggap tak gaul.
Di mana yang berani deklarasi dianggap hanya mengumbar janji, sementara yang tak mau asal janji dianggap tak punya target.
Di mana orang yang tak berkawan dicap anti sosial, sementara orang yang berkawan dianggap eksklusif.
Di mana orang yang tak mau mengaku salah dicap tak tahu diri, sementara orang yang mau mengaku salah dianggap pecundang.
Di mana yang terus berusaha dianggap tak tahu batas, dan yang cepat merasa puas dicap tak tahu diuntung.
Di mana yang beragama dituntut menjadi santo, namun yang berdosa langsung dilempar ke neraka jahanam.
Di mana berdiri di kiri diserang yang kanan, berdiri di kanan diserang yang kiri, dan berdiri di tengah diserang kiri kanan.
Di mana yang di dalam tak mau keluar, sementara yang di luar malas melihat ke dalam, dan lagi-lagi yang di tengah mondar-mandir ke luar dan ke dalam.
Di mana lawan kata idealis adalah realis, lawan kata abstrak adalah konkrit, lawan kata konsep adalah teknis, lawan kata pemikir adalah pekerja, lawan kata tampilan adalah esensi.... dan lawan kata aku adalah dunia.
Di mana integritas didewakan dalam segala situasi, sehingga sang pemenang adalah dia yang tak pernah berpikir, berbicara, dan bertindak... karena nol sama dengan nol.


Di sepanjang hidupku
Hidup serasa bukan hidup
Biarkan aku hidup benar-benar hidup
Sekali saja, sekali saja

Masa kecilku hilang
Masa mudaku pun hilang
Biarkan aku hidup benar-benar hidup
Sekali saja, sekali saja

Beratnya buku-buku mematahkan bahuku
Bahkan suap pun, ayahku yang mengajarkan:
Nilai 100 berarti jam tangan baru
Kurang dari itu berarti pukulan tongkat

Dengan terus menulis dan menulis
A-B-C-D tergoreskan di telapak tanganku
Asam sulfat pekat perih
membakar masa kanak-kanakku

Beri aku seberkas mentari, beri aku setitik hujan
Beri aku kesempatan, aku mau hidup sekali lagi
bidadari kesepian di ambang kematian melihatnya terbenam membutku iri.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar